Berbagai jenis suvenir giok dipajang di gerai milik Fera Kato
saat pameran batu
cincin tingkat nasional di Pasar Atjeh, Banda Aceh,
Selasa, 10 Maret 2015. Foto oleh Nurdin Hasan/Rappler
BANDA ACEH, Indonesia
– Puluhan rencong dipajang di atas rak lemari kaca setinggi satu meter. Senjata
tradisional Aceh
berbagai ukuran mulai 10 hingga 40 centimeter memancarkan warna hijau, hitam,
dan putih di bawah siraman cahaya lampu lantai 3 Pasar Atjeh di pusat ibukota
Banda Aceh.
Berbeda dengan rencong yang
selama ini beredar di pasaran, suvenir itu terbuat dari batu giok. Biasanya bahan untuk membuat rencong dari
besi. Sedangkan, giok diasah menjadi mata cincin. Tetapi di tangan Fera Buanto,
25 tahun, bersama tiga rekannya, batu giok diasah menjadi rencong untuk
suvenir.
Selain rencong, keempat pengusaha batu
mulia asal Kabupaten Nagan Raya di Aceh bagian barat juga mengukir giok dalam
berbagai bentuk seperti aneka jenis binatang, bunga, mobil-mobilan,
tongkat komando, granat manggis, mata cincin wujud hewan, papan nama pejabat,
liontin seperti dedaunan, dan cincin siap pakai. Semuanya dari giok, tanpa
campuran bahan lain.
“Kami juga mengasah mata cincin seperti
yang umum dijual, tapi itu hanya sambilan saja karena fokus usaha kami mengukir
giok dengan aneka bentuk,” tutur Fera ketika diwawancarai Rappler Indonesia di
Banda Aceh, Rabu, 11 Maret 2015.
Pria belum menikah yang lebih senang
disapa Fera Kato bersama tiga rekannya: Agus Didilianti, 31 tahun; Zulfikar, 33
tahun dan Dedi, 30 tahun, berada di ibukota Provinsi Aceh sejak Kamis petang, 5
Maret 2015, untuk ikut pameran dan kontes kontes batu cincin tingkat nasional
yang berlangsung lima hari hingga Rabu dinihari.
“Batu kami menang untuk kategori black
jade (giok hitam) dalam kontes,” ujar Fera Kato, seraya menambahkan, total
keuntungan mereka raih dari acara pameran itu hampir mencapai Rp 100 juta.
Sebuah rencong sepanjang 40 centimeter
yang bahannya dari nefrite dibeli seorang turis Jepang senilai Rp 5 juta.
Suvenirrencong itu cukup berkesan karena gagangnya seperti kupiah meukeutop
(kopiah kebesaran dalam adat Aceh) dan di matanya ada ukiran kalimat,
‘Bismillah hir-Rahman nir-Rahim’ dalam bahasa Arab.
Selain itu, ada juga sebatang tongkat
komando yang dibeli seorang tentara seharga Rp 10 juta. Beberapa rencong ukuran
kecil juga dibeli pengunjung pameran. Idocrase super
seberat 5 kilogram yang mereka bawa dijual pada seorang pencinta batu giok
seharga Rp 25 juta.
“Yang saya sangat berkesan ada seorang
pengunjung dari Bandung yang memborong 15 biji liontin berbentuk daun ganja.
Kata warga
Bandung itu, liontin ini adalah oleh-oleh tak terlupakan dari Aceh,” tutur
Agus, seraya menambahkan harga sebiji liontin
itu Rp 400 ribu.
Untuk membuat berbagai macam suvenir
bukan sembarang giok, tetapi bahan super dari jenis black jade dan nefrite. Di
kalangan pencinta batu mulia di Aceh, black jade biasa disebut “blek jek”.
Harga bongkahan black jade seberat 1 kilogram biasanya dijual hanya Rp 250.000
dan mudah didapat. Untuk kategori super bisa tiga kali lipat. (Nurdin Hasan)
Posting Komentar