Bundengan; Alat Musik Etnik yang Aneh dan Ajaib dari Wonosobo – Jawa Tengah


Berlimpahnya keragaman seni dan budaya menjadikan bukti bahwa ada “warna pembeda” dari masing-masing penghuni pada tiap daerah di bumi Nusantara ini. Lebih dari itu, selain menjadi latar belakang adanya budi dan daya pada tiap individu masyarakatnya, keberadaan seni dan budaya juga menunjukkan bahwa rakyat nusantara ini telah lama memiliki peradaban.

Bentuk peradaban masa lampau yang tetap dirawat hingga kini dan merupakan perwujudan tradisi daerah sebagai cermin kearifan lokal diantaranya adalah keberadaan musik etnik. Ada banyak musik etnik di bumi Nusantara, dari yang tetap langgeng dan digemari oleh banyak kalangan sebagaimana wayang pun gamelan, hingga yang telah langka dan terancam punah.


Musik Etnik Mulai Langka
Jika di daerah Gunung Kidul – Yogyakarta terdapat alat musik tradisional yang mulai langka, yaitu bernama Rinding Gumbeng, maka masih di wilayah Jawa Tengah, tepatnya di daerah Wonosobo, ada pula musik etnik yang tak banyak dikenal orang, yaitu yang bernama “Bundengan.”

Bundengan termasuk alat musik aneh
 Bundengan adalah alat musik dari kelopak ruas bambu yang diberi senar dan bilah bambu, merupakan jenis alat musik aneh karena memiliki bentuk fisik yang tak memperlihatkan sebagai alat musik, namun lebih menyerupai tempat sampah alias engkrak ataupun kowangan, yaitu caping yang biasa digunakan untuk berteduh  sontoloyo alias bocah tukang angon bebek.
Alih-alih dibilang aneh, sejatinya bundengan akan lebih tepat apabila dikatakan sebagai jenis alat musik “unik” dan ‘ajaib,’ karena dari satu alat ini ternyata mampu menghasilkan beragam suara yang mirip dengan beberapa perangkat gamelan.

Cara memainkan Bundengan
Sebagaimana diketahui beberapa orang, alat musik khas Dataran Tinggi Dieng yang secara sekilas hanya menyerupai properti panggung ini kenyataannya bisa menghasilkan beragam bunyi memesona menyerupai kendang, baik itu berujud suara ketipung, suara ciblon, ataupun suara bem, yaitu bunyi kendang besar yang suaranya menyerupai bas bethot pada jenis musik keroncong. Padahal cara memainkan bundengan ini sama sekali bukan ditabuh, melainkan dengan cara dipetik mirip gitar ataupun rebab.

Musik Pengiring Seni Panggung
Awal kemunculan bundengan ditengarai sekitar tahun 1968, yaitu tatkala alat musik ini digunakan untuk mengiringi tari kuda-kepang dan lengger, yaitu dengan membawakan lagu-lagu pengiring seperti Kebo Giro, Gones, Sumiyar, Kinayakan, Bribil, ataupun Cuthang. Hal ini semakin diperkuat bahwa irama yang tersaji dari alat musik bundengan cenderung bercengkok sebagaimana yang biasa terdengan pada iringan kuda kepang dan lengger. Akan tetapi seiring perkembangan jaman, bundengan juga terasa indah dipadukan dengan irama gending Jawa, lagu dangdut, campursari, bahkan juga lagu-lagu kasidahan.

Lalu Apa itu Bundengan?
Sesuai keterangan yang ada, penemu musik bundengan ini adalah Barnawi, yaitu sosok lelaki yang sedari kecil telah akrab dengan kuda kepang dan juga tari lengger. Awalnya Barnawi menyebut alat musik ini dengan nama Kowangan, karena memang mirip dengan caping besar. Kowangan adalah nama sebuah caping besar dan bentuknya juga memanjang, biasa dikenakan oleh para penggembala itik sebagai alat berteduh dari terik matahari dan derasnya air hujan.     Hanya saja, seiring waktu akibat latarbelakang perpaduannya sebagai pengiring seni panggung, alat musik ini lebih dikenal dengan istilah bundengan.

Asal mula Bundengan
Barnawi memainkan musik etnik Bundengan – Kowangan bersama kelompoknya dari Wonosobo (suaramerdeka.com)
Barnawi, lelaki warga Ngabean, Maduretno, Kalikajar, Wonosobo sewaktu kecil memiliki kegiatan menggembalakan itik (angon bebek-red), sembari menggembala Barnawi kecil memiliki keisengan membentangkan enam ijuk pada bagian dalam kowangan, yang selanjutnya ijuk itu mulai dipetiknya, dan berhasil mengeluarkan bunyi. Karena bunyinya nyaris tak terdengar, maka ijuk diganti menggunakan senar raket serta guntingan ban dalam sepeda. Sedangkan di bagian luarnya ditambahkan pula tiga ingis (kulit bambu) dengan posisi tegak di bawah bentangan ban dalam.


Belajar dari Barnawi
Barnawi adalah sosok lelaki desa yang penuh dengan keterbatasan, jenjang pendidikannya hanya sebatas mengenyam sekolah hingga kelas 1 SD. Oleh karenanya Barnawi tak bisa baca tulis dan tak dapat berbahasa Indonesia secara lancar. Hanya saja tentu ini tak layak kalau dijadikan sebab untuk tidak menghargainya.
Penghargaan nyata kepada Barnawi sebagai penemu alat musik Bundengan dilakukan oleh lelaki warga Kampung Seruni, Kelurahan Jaraksari, Kota Wonosobo, Jawa Tengah, bernama Hengky Krisnawan. Tetap mengakui bahwa penemu Bundengan adalah Barnawi, maka meskipun secara pendidikan bukanlah orang terpelajar, Hengky rela berguru kepadanya.

Penyelamatan dari kepunahan
Hengky Krisnawan, satu-satunya pemain bundengan yang tersisa di Wonosobo, Jawa Tengah (kompas.com)
Hal yang disesalkan setelah Barnawi meninggal adalah tidak banyaknya orang yang bisa memainkan alat musik ini, karena anak perempuan Pak Barnawi yang sejatinya juga mampu memainkannya juga sudah tak begitu aktif. Oleh karenanya, demi melestarikan dan menghindari kepunahan, sosok Hengky adalah satu-satunya yang bisa diharapkan. Pasalnya tinggal dialah yang bisa menguasai alat musik bundengan dan sempat belajar langsung kepada penemunya.


Beruntung sebagai seniman yang bisa memainkan bundengan, selain telah membeli alat dari sang penemunya, Hengky adalah sosok yang juga berusaha menggandakan alat musik ini. Hal ini tentu saja akan sedikit menjadi jalan, karena alat musik jenis ini memang belum ada juga yang memproduksinya.Saat ini Hengky Krisnawan telah memiliki 4 bundengan hasil karyanya, dan akan tetap berusaha membuat alat musik bundengan ini sendiri. [uth]
Bagikan berita :

Posting Komentar

 
Supported by : Creating Website | MENOREH . Net - Media Partner
Copyright © 2013. Gading - All Rights Reserved
Created by News BUANA.Com
KONTAK REDAKSI