Foto: Int/dok.JPNN
JAKARTA - Tahun ini diperkirakan tidak
akan ada perbedaan hari dimulainya bulan Ramadan dan Idul Fitri yang ditetapkan
Muhammadiyah dengan ketetapan Kementerian Agama dan Nahdhaltul Ulama (NU).
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, tahun ini dimulainya periode
yang unik. Yakni dalam rentang delapan tahun ke depan atau selama 2015 hingga
2022 nanti, dipastikan tidak ada perbedaan penetapan awal puasa dan Lebaran
antara Kemenag, Muhammadiyah, maupun NU.
Profesor riset bidang astronomi dan
astrofisika itu mengatakan, fenomena unik itu terjadi selama tidak ada
perubahan kriteria penetapan awal puasa dan Lebaran antara pemerintah dan dua
ormas Islam besar itu.
"Penyebabnya murni fenomena alam.
Posisi bulan selama delapan tahun ke depan sangat tinggi saat dilakukan rukyat
(pengamatan, red)," katanya di Jakarta kemarin.
Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah bisa
menetapkan lebih awal kapan awal puasa dan Lebaran karena menggunakan sistem
hisab (perhitungan). Kriteria yang dipakai pada sistem hisab adalah, pokoknya
bulan (hilal) sudah di atas ufuk, berarti besoknya sudah masuk Ramadan atau
Syawal.
Sedangkan sistem yang dipakai NU dan
pemerintah adalah imkanur rukyat, dengan cara melihat langsung kondisi bulan.
Kriteria yang dipakai dalam sistem rukyat adalah, tinggi bulan (hilal) harus
lebih dari dua derajat di atas ufuk.
"Nah dalam delapan tahun ke depan,
posisi hilal di atas dua derajat terus. Jadi bisa saya nyatakan tidak akan ada
perbedaan awal puasa dan Lebaran pada 2015 hingga 2022," urai dia.
Sedangkan untuk penetapan Idul Adha
tahun ini, Thomas mengatakan masih berpotensi terjadi perbedaan antara
Muhammadiyah dengan Kemenag atau NU. Muhammadiyah diperkirakan bakal mendahului
melaksanakan Idul Adha dibandingkan versi pemerintah.
Thomas juga mengatakan, Kemenag saat ini
sedang berupaya untuk mencari titik temu di tengah perbedaan sistem yang
dipakai NU maupun Muhammadiyah. "Baik NU maupun Muhammadiyah kelihatannya
sudah mulai mencair," jelas dia.
Alumni program astronomi Universitas
Kyoto Jepang itu mengatakan, pada 1 Mei lalu, Kemenag sudah duduk bareng
bersama dengan pengurus Muhammadiyah di Jogjakarta. Kemudian dalam waktu dekat
Kemenag juga akan bertemu dengan pengurus NU untuk urusan penetapan
tanggal-tanggal penting dalam agama Islam.
Meski belum ada keputusan resmi, Thomas
membeber sedikit bagaimana arah upaya Kemenag mempertemukan NU dan
Muhammadiyah. "Skemanya lebih menggunakan pendekatan astronomi,"
ujarnya.
Jadi bukan mengambil titik tengah antara
kriteria tinggi hilal di atas nol derajat (versi Muhammadiyah) dan di atas dua
derajat (versi NU). Thomas berharap upaya Kemenag menyatukan NU dan
Muhammadiyah itu membuahkan hasil.
Namun sepertinya, rencana Kemenag untuk
menyatukan model penetapan ala NU maupun Muhammadiyah bakal sulit terwujud.
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay
mengatakan, penentuan awal puasa atau Lebaran versi Muhammadiyah tidak perlu
dipersoalkan.
Dia mengatakan Muhammadiyah selama ini
tidak pernah mempersoalkan sistem rukyat yang dilakukan pemerintah atau NU.
"Tidak adil jika metode hisap yang dipakai Muhammadiyah selama ini
seolah-olah salah," jelas dia.
Dia mengatakan dalam perdebatan panjang
antara metode hisab maupun rukyat, tidak bisa saling menjatuhkan. Sebab ulama
masing-masing memiliki dasar hukum sendiri-sendiri. Dia berharap jika benar
tidak akan ada perbedaan selama delapan tahun ke depan, masyarakat bisa lebih
tenang menjalankan ibadah puasa atau menyambut bulan puasa.
Sekjen PBNU Marsudi Suhud menuturkan,
silakan saja Kemenag berupaya menyatukan model perhitungan antara mereka dengan
Muhammadiyah. Tapi apakah akan berhasil? "Ya ubah dulu landasan
dalilnya," kata dia. Selama ini Marsudi hanya mengetahui ada dalil yang
bunyinya; summu li ru"yati (berpuasalah setelah melihat atau rukyat).
Marsudi mengatakan selama ini NU sudah
berjalan dengan pakemnya. Kemudian Muhammadiyah juga berjalan dengan pakemnya
sendiri. Dia menuturkan NU akan tetap mengacu pada kriteria tinggi bulan dua
derajat. Sebab bulan baru bisa dilihat atau diamati jika sudah berada di atas
dua derajat. (wan/end)
Posting Komentar